Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan melalui Gerakan Koperasi, Bag. I Koperasi Wadah Ekonomi Rakyat
Sahabat Blogger, khususnya para calon
ahli ekonomi di Indonesia, saya nemuin artikel yang ditulis oleh Pak Mubyarto yang
pas dulu waktu kuliah pernah dibaca. Dulu masih memang belum ngeh bacanya,
terkesan sulit untuk dicerna. Namun setelah dibaca dengan seksama, ternyata
menarik juga untuk dibaca dan bagus untuk dibagikan kepada yang memerlukan. Karena muatannya sangat mendalam, berisi
pengetahuan tentang bagaimana gambaran ekonomi Indonesia ketika sebelum merdeka
dan setelah merdeka. Karena begitu panjangnya, saya bagi-bagi lagi menjadi
beberapa sub judul. Judul yang sebenarnya mengupas bagaimana membangkitkan ekonomi
kerakyatan melalui gerakan koperasi. Saking banyaknya hingga mencapai sebelas
halaman, maka saya bagi menjadi beberapa bagian. Nah bagi anda semua yang
tertarik untuk membacanya mangga, barangkali bisa dijadikan referensi buat
tugas kuliah.
Ekonomi Rakyat dalam arti yang lebih
luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki lima,
yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah
dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat
seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh
pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha
menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia. Teori-teori ekonomi mikro
maupun makro dipelajari secara deduktif tanpa upaya menggali data-data empirik untuk
mencocokkannya. Karena contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika
dengan ukuran-ukuran relatif besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi
rakyat tidak ada dan tidak ditemukan di buku-buku teks Amerika.
Misalnya Menteri Pertanian yang
memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika Serikat dengan yakin
menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun tanpa disadari yang
dimaksud adalah”Farming (in America) is business”, sedangkan di
Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai bisnis tetapi
“way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali bukan
kegiatan bisnis yang mengejar untung.
Jika banyak orang Indonesia termasuk
ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi rakyat Indonesia “tidak ada”, atau tidak
mempunyai sejarah, maka dasar pendapatnya jelas karena mereka (orang awam
maupun ilmuwan) tidak membaca buku-buku sejarah ekonomi Indonesia. Maka kita
patut berterimakasih pada Anne Booth penulis buku The Indonesian Economy in
the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunity
(Macmillan & St. Martin’s, 1998) dan Howard Dick dkk., The Emergence of
A National Economy (Allen & Unwin & U-Hawaii, 2002).
Kedua buku ditulis dalam rangka lebih
memahami ekonomi Indonesia modern sejak Indonesia Merdeka 1945. Karena tidak
ada buku-buku sejarah ekonomi Indonesia, pakar-pakar ilmu sosial Indonesia
termasuk pakar ekonomi tidak mempunyai referensi dalam menerangkan
fenomena-fenomena ekonomi dan sosial masa kini dan dengan demikian juga tidak
dapat memperkirakan akar-akar sejarah permasalahan sosial ekonomi dewasa ini.
Dalam kondisi demikian banyak diantara mereka menggunakan referensi sejarah
ekonomi negara-negara lain yang dianggap relevan, padahal barangkali mereka
sadar referensi tersebut banyak yang tidak relevan.
Dalam pada itu buku-buku tentang
ekonomi atau perekonomian Indonesia yang ditulis oleh pakar-pakar ekonomi
Belanda seperti Boeke dan Furnival tidak dibaca dengan alasan yang kurang
jelas. Perdebatan seru tentang tesis dualisme ekonomi yang terbit sebagai buku Indonesian
Economics (Van Hoeve, 1966), belum pernah secara lengkap diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia untuk didiskusikan dalam kuliah-kuliah Ekonomi
Indonesia.
Mata kuliah Ekonomi Indonesia ini oleh
konsorsium Ilmu Ekonomi di Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi telah diubah
menjadi Perekonomian Indonesia, yang tentu saja sekedar membicarakan
fenomena-fenomena dan bekerjanya perekonomian Indonesia Modern, terutama sejak
tahun 1966 (Masa Orde Baru). Penulis buku ini yang mengampu kuliah ekonomi
Indonesia selama 20 tahun terakhir, tetap menyebutnya sebagai Ekonomi
Indonesia, dan mengisinya dengan sejarah perekonomian Indonesia (sejak masa
penjajahan) dan sejarah pemikiran ekonomi Indonesia.
Disamping itu dibahas pula sistem
ekonomi Indonesia dengan memberikan perhatian dan penelusuran deskriptif dan
analitis pada sejarah sistem ekonomi sejak sistem ekonomi monopolistik ala
VOC (1600 – 1800), sistem ekonomi komando ala Tanam Paksa (1830 – 1870),
dan sistem ekonomi kapitalis liberal sejak 1870. Salah satu buku penulis yang
dipakai sebagai buku teks Ekonomi Indonesia berjudul Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (LP3ES, 1988) dan Membangun
Sistem Ekonomi (BPFE, 2000).
Buku Anne Booth, yang banyak mengacu
pada buku-buku sejarah ekonomi penulis-penulis Belanda menggambarkan dengan
baik sejarah ekonomi rakyat Indonesia khususnya pada bab 7, Market
and Entrepreneurs. Perkembangan sistem pasar di Indonesia tidak pernah
mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia
sebagai “negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 –
1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli (monopsoni)
dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan
pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan
sepihak oleh VOC.
Meskipun VOC tidak sama dengan
pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai
kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC mempunyai aparat
“pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie
diucapkan orang Indonesia sebagai kumpeni yang tidak lain berarti
“tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya
yang “dipaksa beli” oleh VOC. Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun
1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat untuk
mengekploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816)
karena penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di
duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris.
Letnan
Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk
mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil alih
pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda ) diserahkan
kembali kepada Belanda.
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah
penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang
Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837),
Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam
Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan
yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih
keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan
penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC
wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu
dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka
tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
Selain itu kehidupan rakyat kecil
(ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki tanah
harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan timbul kelaparan
di berbagai tempat di Jawa. Tanam Paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan
noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi
pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas
pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda mengalami
surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini setelah mendapat
protes keras dari berbagai kalangan di Belanda dihapus pada tahun 1870,
meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Akhirnya sistem ekonomi ke-3 dan
terakhir pada jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah
sistem ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi
pemerintah tetapi pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai
penjaga dan pengawas melalui peraturan-peraturan per-undang-undangan.
Undang-undang pertama yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun
1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa
lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami
tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman
semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.
Pada saat tanaman-tanaman perdagangan
ini mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya,
sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan
perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan
inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di
satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan swasta memperoleh untung
besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak
perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan. Tetapi di pihak lain
penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang
sebelumnya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan”
terutama dalam pemasaran hasilnya.
Terutama dalam produksi dan pemasaran
karet persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan
meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran
rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya.
Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan
pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction Scheme) dari pemerintah
penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia
Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi
krisis ketimbang perusahaan-perusahaan perkebunan swasta besar.
Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan
terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu Ekonomi di Rotterdam, banyak
menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang selalu tertekan oleh pelaku sektor
ekonomi modern yang dikuasai investor-investor Belanda, terutama dalam
pertanian dan perkebunan, dan dikenal sebagai pertanian rakyat dan perkebunan
rakyat (smallholder). Pertanian dan perkebunan rakyat dengan pemilikan
lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, sulit
berkembang karena merupakan usaha-usaha subsisten.
Sebaliknya pertanian dan terutama
perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar yang menggunakan
teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi ekspor (karet, teh,
kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik bekerjasama dengan usaha-usaha
ekonomi rakyat. Mereka, perkebunan besar, bahkan khawatir rakyat “menyaingi”
hasil-hasil perkebuan besar karena hasil-hasil perkebunan rakyat dapat jauh
lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi. Demikian karena ekonomi
rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan usaha-usaha besar merupakan
milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari Eropa, maka
para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno, selalu memihak
pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan upaya-upaya untuk
memajukannya.
Maka Hatta berkali-kali menulis di Daulat
Rakyat tentang bahaya-bahaya yang mengancam ekonomi rakyat dan bagaimana
ekonomi rakyat harus bersatu atau mempersatukan diri dalam organisasi koperasi
sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaaan. Hanya dalam asas
kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi yaitu produksi
dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan
diawasi anggota-anggota masyarakat sendiri. Inilah yang kemudian dijadikan
pedoman umum penyusunan sistem ekonomi Indonesia sebagai usaha bersama yang
berasaskan kekeluargan sebagaimana tercantum sebagai pasal 33 UUD 1945.
Ekonomi rakyat sebagai mata
pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki daya tahan tinggi
terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional. Pada saat terjadi
depresi pada tahun 20-an dan 30-an ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda
merugi karena anjlognya harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya.
The 1920s were the “golden age” (hujan
emas or “golden rain”) for smallholder rubber, long remembered among rural
residents in Palembang, Jambi, and West and South Kalimantan. Consumption of
both local and imported goods quickly increased. The number of motor cars in
Palembang rose from 300 in 1922 to 1300 in 1924 and more than 19000 bicycles
and 17000 sewing-machines were imported into Palembang and Jambi in 1920s …..
Much romantic nostalgia surrounded the hujan emas in the rubber regions in the
Outer islands (Howard Dick et. al, 2002:138).
Pada zaman pendudukan Jepang dan awal
kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran dalam negeri yang
makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan perkebunan-perkebunan
besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu
rakyat mulai berperanan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula
mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975
pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa membuat putusan
mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi
(TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta ) menyewa
lahan milik petani.
Semua tanah sawah dan tanah kering
harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul
khususnya secara ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang
paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu
terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI
ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah
sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Karena
tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan
untuk padi tidak, maka di mana pun
petani memilih menanam padi.
Akibatnya tujuan untuk menaikkan
produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan
Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat
kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa
termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.
Demikian sejarah ekonomi rakyat
berawal jauh sebelum Indonesia merdeka, namun tidak banyak pakar mengenalnya
karena para pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi, memang hanya menerapkan
ilmunya pada sektor ekonomi modern terutama sektor industri dengan hubungan
antara faktor-faktor produksi tanah, tenaga kerja, dan modal serta teknologi
yang jelas dapat diukur. Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan atau pemilahan
faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka pakar-pakar ekonomi
“tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.
0 Response to "Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan melalui Gerakan Koperasi, Bag. I Koperasi Wadah Ekonomi Rakyat"
Post a Comment