Asep Penjual Gorengan, Sekarang Jadi Gubernur

Ada seorang anak SD yang tinggal bersama neneknya. Namanya Asep. Setiap berangkat sekolah, ia berjualan gorengan. Ia tidak malu berjualan gorengan untuk membantu kebutuhan sehari-hari keluarganya. Terkadang, ia berangkat ke sekolah sambil nyeker (tanpa alas kaki) karena keterbatasan (ekonomi) keluarganya. Di luar waktu sekolah, Asep mengisi waktu luangnya dengan belajar. Ia terkenal kutu buku. Sering sekali ia membaca buku dengan semangat di atas pohon, padahal di bawah dekat pohon itu ada kuburan. Saat suasana mulai gelap, barulah ia turun dari pohon tersebut. Ia juga sering mengaji Al-Qur’an di masjid.

Selain ilmu umum di sekolah, ia pun senang belajar ilmu-ilmu agama Islam. Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT, Asep bisa melanjutkan sekolah sampai SMA. Pada saat SMA, minat dan semangatnya terkait agama menyebabkan Asep aktif di rohis (kerohanian Islam). Keilmuan Asep di bidang agama pun mulai diakui oleh masyarakat. Di usianya yang masih sangat muda, ia sudah sering menjadi ustadz muda yang diminta berceramah dari satu kampung ke kampong lainnya.

Suatu ketika, Asep sedang menyampaikan ceramahnya dengan bahasa yang sistematis dan jelas. Para hadirin terpesona dengan penjelasan Asep yang sederhana dan mudah dipahami. Ada seorang wanita yang matanya sembap, air mata pun mengalir. Ia bersyukur kepada Allah karena Asep diberi karunia ilmu agama dan dipercaya oleh masyarakat. Ternyata, wanita tersebut adalah ibunda Asep yang ikut hadir. Setelah SMA, Asep diterima kuliah di IPB. Namun, dengan berat hati ia tidak melanjutkan kuliah karena memprioritaskan adikadiknya yang masih sekolah dan perlu biaya yang banyak. Ia pun sempat diterima di IAIN Sunan Gunung Djati (sekarang UIN Sunang Gunung Djati). Dengan keterbatasan ekonomi keluarganya, Asep berusaha mencari beasiswa.

Alhamdulillah, pada saat itu ada pengumuman penerimaan mahasiswa baru Universitas Muhammad Ibnu Sa‘ud Saudi Arabia cabang Asia Tenggara. Asep mendaftar dan lulus dengan beasiswa penuh untuk belajar bahasa Arab dan ilmu syariah di universitas tersebut. Asep belajar dengan tekun sehingga berhasil lulus kuliah. Setelah lulus, Asep terus aktif dalam dunia dakwah. Ia pun dikenal oleh masyarakat sebagai salah seorang da‘I yang juga aktif dalam bidang pendidikan dan politik.

Nah, Asep yang dulu penjual gorengan itu sekarang ada di rumah kita,” pungkas Bu Netty Prasetiyani sambil tersenyum mengakhiri cerita kepada anak-anaknya. “Oh, jadi Asep penjual gorengan itu Bapak, ya?’ Itulah ungkapan yang muncul dari anak-anak saat pertama kali mendengar cerita ‘Asep Penjual Gorengan’,” tambah Bu Netty.


Kami tidak menyangka bahwa ternyata kisah “Asep Penjual Gorengan” itu adalah kisah nyata Gubernur Jawa Barat saat masih kecil, di daerah Sukabumi. Ternyata, Asep itu adalah panggilan Pak Ahmad Heryawan waktu kecil. Saya baru ingat bahwa Universitas Muhammad Ibnu Sa‘ud cabang Asia Tenggara itu bernama LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang bertempat di Jakarta dan merupakan kampus tempat Pak Ahmad Heryawan dahulu berkuliah dan menimba ilmu bahasa Arab dan keislaman.

Konflik yang Berkepanjangan di Timur-Tengah

Peristiwa pembunuhan, pembantaian terhadap ummat muslim yang dilakukan oleh zionis / kafir terutama di Palestine, Suriah, dan Negara muslim lainnya seakan-akan tiada hentinya. Bagaimana mau berhenti, toh tidak ada yang bisa mencegahnya, bahkan melarangnya. PBB dalam konteks dunia, seakan-akan tidak punya kewenangan dalam mengurusi hal tersebut. Padahal, PBB dibentuk bertujuan supaya praktik-praktik seperti diatas seharusnya tidak ada lagi di dunia yang modern ini. Tapi nyatanya dari dulu sampai sekarang toh masih aja dilegalkan.

Mau lihat buktinya, klik neh link video berikut ini!!!

Kondisi ini tambah terpuruk ketika tidak ada media yang mem blow up peristiwa keji tersebut. Begitulah kalau media sudah dikuasai oleh zionis / kafir, jangankan media yang sekaliber internasional, skala nasionalpun minim pemberitaan, yang konon katanya masyarakat Muslimnya paling banyak dan terbesar jumlahnya diantara Negara-negara muslim didunia. Lantas apa yang terjadi?

Di Palestine, Suriah, Rohingnya, dan Negara Muslim lainnya, masyakarat muslim sangat menderita dengan perlakuan dari para pelaku yang masih melekat dengan faham kolonialisme dan imperialism. Tidak henti-hentinya mereka disiksa, diperkosa, bahkan dibunuh, seakan-akan mereka bukan manusia yang selayaknya manusia. Mereka dihadapkan pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Selain harus mempertahankan keyakinan yang selama ini mereka pegang, yaitu menegakkan kalimah “Laa Ilaaha Illallah”, namun harus merasakan bagaimana sulitnya untuk mempertahankan hidup.

Sungguh luar biasa mereka, sehingga layak mendapatkan syurganya Allah atas apa yang mereka jalani dalam hidupnya. Sementara kita, dihadapkan masalah-masalah yang sebenarnya dimulai dari hal-hal sepele, yang selalu dibiarkan sehingga menjadi hal yang sulit untuk diatasi bahkan dihilangkan. Seperti masalah korupsi, masalah ekonomi, pengangguran, kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, dan lain sebagainya. Padahal, Allah sudah memberikan kenikmatan yang luar biasa pada Negara kita tercinta Indonesia. Mau apa aja, sudah tersedia kok. Cuman bentuk ikhtianya aja yang tidak ada.

Berbicara kekayaan Negara Indonesia tidak akan ada habisnya, soalnya saking kayaknya, ga ada yang bisa ngurus, walaupun Indonesia banyak juga jumlah penduduknya, empat terbesar di dunia loh. Namun dari sekian ratus juta penduduk Indonesia, masa sih ga ada orang pinter. Aneh tapi nyata.


Seharusnya ummat muslim harus lebih kaya jika dibandingkan dengan ummat yang lainnya, karena sudah dikasih modal sama Allah berupa kekayaan alamnya. Tinggal bagaimana ummat muslim mau berikhtiar didalamnya. Namun balik lagi, faktanya ummat muslim hanya sebagian kecil yang memang kaya dari segi ekonominya dan sebagian besar menyandang sebagai penduduk yang miskin. Karena memang ada upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak menyukai dan menghendaki ummat Muslim di Indonesia maju dalam segala hal. Wallahu a’lam..

8 Langkah Mengatur Waktu Belajar Anda

Ketika masih menjadi mahasiswa teringat akan aktivitas-aktivitas kampus yang memang butuh tenaga ekstra untuk melakukannya. Selain itu, seorang mahasiswa harus melakukan kewajibannya sebagai pelajar yaitu belajar dan mengerjakan tugas. Memang pada awal semester pertama kuliah tidak terlalu banyak aktivitas yang dilakukan, karena memang kondisinya belum terlalu ada tambahan aktivitas lainnya, misalnya organisasi. Mulai beberapa semester, apalagi menginjak pada tahun-tahun berikutnya aktivitasnya semakin bertambah. Selama mengikuti organisasi banyak manfaat yang diperoleh, salah satunya kita bisa mengelola / (memanage) waktu.


Menjadi mahasiswa memang menyenangkan, namun Anda tahu bahwa Anda harus bertanggung jawab sendiri terhadap waktu dan keuangan Anda. Waktu terus bergulir dan harus dimanfaatkan dengan baik agar Anda bisa mencapai hasil maksimal dalam studi Anda.

Terlalu banyak waktu untuk belajar sama buruknya dengan terlalu banyak bermain. Aturlah dengan proporsional. Langkah-langkah berikut bisa membantu Anda untuk mengatur waktu dengan baik.

1. Ketahui waktu personal
Untuk mulai mengatur waktu, Anda perlu mengetahui terlebih dulu alokasi waktu Anda dan sisa waktu yang tersisa. Survei waktu personal akan membantu Anda untuk memperkirakan waktu yang biasa Anda habiskan untuk aktivitas rutin.

Untuk memperoleh perkiraan yang akurat, Anda harus menelusuri waktu yang Anda habiskan dalam sepekan. Caranya, perkirakan waktu yang Anda habiskan untuk setiap aktivitas per hari, lalu kalilah dengan tujuh untuk mendapatkan total aktivitas rutin Anda dalam sepekan. Setelah itu, kurangkan dengan 168, total jam dalam sepekan. Sisa waktu ini adalah waktu-waktu yang harus Anda alokasikan untuk belajar.

___x7 = ___ waktu tidur
___x7 = ___ waktu mandi dan berdandan
___x7 = ___ waktu makan termasuk persiapannya
___x7 = ___ waktu jalan-jalan pad ahari kerja
___x7 = ___ waktu jalan-jalan pada akhir pekan
___x7 = ___ waktu untuk sesi khusus, seperti beribadah, kursus, dsb
___x7 = ___ waktu untuk mengerjakan tugas
___x7 = ___ waktu bekerja
___x7 = ___ waktu untuk kuliah
___x7 = ___ rata-rata waktu untuk bersosialisasi, nongkrong (cobalah jujur)
TOTAL = ___
Sisa waktu Anda: 168 jam - (TOTAL) = ___


2. Formula jam belajar
Untuk mencapai nilai yang baik, Anda tentu perlu mengalokasikan waktu belajar setiap pekan dengan baik pula. Gunakan aturan praktis, seperti belajar dua jam per pekan untuk mata kuliah yang mudah, tiga jam di kelas untuk kelas mata kuliah yang lebih sulit dan empat jam untuk kelas mata kuliah yang sulit.

Misalnya, mata kuliah kalkulus ditetapkan sebagai kelas sulit sehingga perlu 12 jam dalam sepekan untuk mempelajarinya secara khusus. Jika perlu, mengalokasikan lebih banyak jam bisa dilakukan.

____x2 = ____ jam belajar mata kuliah yang mudah
____x3 = ____ jam belajar mata kuliah yang lebih sulit
____x4 = ____ jam belajar mata kuliah yang paling sulit
TOTAL = ____

Bandingkan jumlah jam yang Anda dapatkan di sini dengan hasil survei sebelumnya. Ini waktu dimana banyak mahasiswa akan sedikit stres. Namun, yakinkan diri bahwa tak perlu cemas. Ini bukan sekadar soal kuantitas waktu belajar, namun juga menentukan kualitas. Cobalah selama seminggu dan buat penyesuaian yang diperlukan.

3. Jadwal harian
Banyak metode yang dapat disesuaikan dengan kepribadian Anda, bisa berupa buku catatan, poster yang ditempel ke dinding kamar Anda atau cuma kartu 3x5 cm.

Setelah Anda menentukannya, mulailah dengan memasukkan jadwal utama, seperti kelas kuliah, bekerja, makan, dan sebagainya. Lalu masukkan jadwal belajar Anda seperti yang sudah Anda rumuskan di poin 2. Aturlah agar Anda belajar pada jam-jam saat Anda masih bersemangat. Jadwalkan istirahat selama 10 menit dalam setiap jamnya.

Pikirkan secara realistis. Jika Anda mengambil waktu kursus, Anda harus sadar bahwa Anda perlu menyediakan waktu tambahan untuk kembali mempelajarinya di luar waktu kursus. Jika Anda tidak menemukan waktu lagi untuk belajar atau akhirnya benar-benar tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi, Anda bisa meringankan beban Anda. Pikirkan hal-hal yang paling penting bagi Anda untuk saat ini.

4. Tak perlu perfeksionis
Mencoba untuk menjadi orang yang perfeksionis hanya akan membawa Anda pada keterpurukan. Tak ada orang yang sempurna. Tugas-tugas yang sulit biasanya dihindari dan ditunda. Anda perlu menetapkan tujuan yang harus dicapai, tetapi juga perlu tantangan.

5. Belajar untuk berkata 'tidak'
Sebagai contoh, seorang teman ingin mengajak Anda menonton film malam ini. Padahal Anda sudah menjadwalkan besok waktunya bersosialiasi dan malam ini Anda harus belajar dan mencuci pakaian. Anda sebenarnya tidak tertarik. Anda ingin mengatakan tidak, namun Anda tidak suka mengecewakan orang lain. Mengatakan "tidak" dengan sopan harus menjadi kebiasaan. Berani berkata "tidak" membuat Anda bebas menggunakan waktu untuk hal-hal yang penting.

6. Belajar menetapkan prioritas
Prioritaskan tanggung jawab dan janji Anda. Banyak orang tidak tahu cara memprioritaskan sesuatu dan mudah menunda-nunda pekerjaan.

Salah satu metode yang bisa membantu Anda adalah daftar ABC. Tempatkan hal-hal yang harus dilakukan hari itu juga dalam kelompok A. Sementara hal-hal yang bisa diselesaikan dalam seminggu bisa dimasukkan dalam kelompok B, hal-hal yang bisa dilakukan dalam waktu sebulan dimasukkan saja ke dalam kelompok C.

7. Mengombinasikan lebih dari satu aktivitas
Saran lainnya adalah mencoba untuk menggabungkan sejumlah aktivitas dalam satu waktu. Ketika berangkat ke sekolah, Anda bisa sekaligus mendengarkan rekaman catatan. Ini memungkinkan waktu belajar selama satu atau dua jam dalam sehari. Ketika Anda menonton, bisa sekaligus menghitung pengeluaran Anda. Jadilah kreatif.

8. Kesimpulan
Setelah menetapkan dan mematuhi jadwal menjadi kebiasaan, Anda akan menyesuaikan diri. Jujurlah pada diri sendiri dalam membuat dan menaatinya. Lebih mudah untuk melakukan sesuatu dengan waktu tersisa daripada mencari waktu ekstra untuk melakukan sesuatu.


BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI PARA PENDIDIK DI INDONESIA

BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI PARA PENDIDIK DI INDONESIA
Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

Mendapat gelar Doktor di Amerika lebih mudah dari pada di Indonesia : pengalaman RK
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal, dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya, tulisan itu buruk. Logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.
"Maaf, Bapak dari mana?"
"Dari Indonesia," jawab saya.
Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak
anaknya dididik di sini," lanjutnya.

"Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! " Dia pun melanjutkan argumentasinya.

"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam.

Padahal, saat menempuh ujian program doktor di luar negeri, saya dapat melewatinya dengan mudah. Pertanyaan para dosen penguji memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun, suasana ujian dibuat sangat bersahabat.

Seorang penguji bertanya, sedangkan penguji yang lainnya tidak ikut menekan. Melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
***

Etikanya, seorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan. Tapi yang sering terjadi di tanah air justru penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya.

Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukannya melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga cenderung menguji dengan cara menekan. Ada semacam unsur balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Lantas saya berpikir, pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakter hasil didikan guru-gurunya sangat kuat: yaitu karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti."

Malam itu, saya pun mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa bersalah karena telah memberinya penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya justru mengatakan bahwa "gurunya salah". Kini, saya mampu melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut?
Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau...; Nanti...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah. Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun, di lain pihak juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.

Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya.

Dengan demikian, kecerdasan manusia dapat tumbuh, tetapi sebaliknya juga dapat menurun.
Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi, juga ada orang yang "tambah pintar" dan ada pula orang yang "tambah bodoh".
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan.


Bantulah orang lain untuk maju.

Bersyukur itu Indah

Sahabat Blogger, saya punya cerita yang layak untuk dibaca dan dihayati dengan seksama. Cerita ini saya ambil dari status akun seseorang di facebook. Bagi saya cerita itu wajib disampaikan bahkan dishare sesering mungkin, selama itu baik untuk di bagikan pada khalayak luas. Cerita tersebut menegaskan kepada kita bahwa hidup itu harus selalu penuh dengan rasa syukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Karena dengan syukur itu, selain sebagai tanda rasa terimakasih kita pada Allah, namun juga dengan syukur kita lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Baik, langsung simak saja kisah selengkapnya dibawah ini.

Malam-malam dapat tulisan kayak gini, rasanya seperti ditampol bolak-balik Jakarta-Beijing nggak bales. Kena banget. Memang benar, rejeki dari Alloh itu pasti cukup buat hidup, tapi tak akan cukup buat gaya hidup.
Alhamdulillah dapat istri yang selalu mengingatkan saya, "rejeki sudah ada yang atur, yang penting jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha"
Aahhh istriku, aku jadi semakin sayang sama kamu.
---------------------------------------------------------------------------------
KAMU SUDAH KAYA? ATAU MASIH MISKIN?
Kenalan saya seorang perencana keuangan di Jakarta punya banyak klien dari kalangan artis, dia cerita waktu itu pernah dicurhati seorang artis yang tiap hari nongol di tv, terkenal dimana-mana, tapi buat bayar cicilan mobil 5 juta saja tidak punya.. Gaya hidup akhirnya meremukkan hidupnya.

Saya pernah kenal seorang presenter TV nasional, kalo sedang tampil rapi pakai jas rapi sekali, hanya sekali ketemu di seminar, dia minta nomer HP. Sebulan kemudian dia SMS..
"Mas, saya pinjam uangnya 1 juta bisa? Minggu depan saya kembalikan.."
Walaaah..

Tahun 2009 malah ada vokalis band terkenal, saya kenal sejak 2003 ketika dulu masih kerja di EO sering saya ketemu waktu saya jadi stage manager. Lagunya ngehits di semua radio, satu sore ngajak ketemu.. Ujung-ujungnya pinjam uang dengan alasan ini itu.. Dan sampai hari ini tidak pernah dikembalikan hingga tahun-tahun berlalu..

Kisah Ustad Luqmanul Hakim gak kalah unik, waktu masih kuliah S2 di Malaysia dia diundang makan di sebuah restoran mewah oleh salah satu kawannya. Ustad Luqman bahkan diminta memindahkan parkiran motor bututnya agar tidak menggangu pemandangan di halaman depannya. Usai makan, kawannya justru curhat dan minta nasehat, sambil menunjuk mobil mewah di halaman depan yang sudah 6 bulan cicilannya belum terbayar..
Betul kan, rejeki dari Allah itu PASTI CUKUP untuk hidup, tapi TAK AKAN CUKUP untuk gaya hidup..

Kisah nyata sebaliknya dari Ustad Luqman,
Seorang ibu tua dengan kain jarik datang ke sebuah masjid usai jumatan, panitia dan takmir sedang berkumpul sambil duduk menghitung uang hasil infak jamaah hari itu. Ketika ibu itu datang dengan baju sangat biasa dan berkain jarik, salah seorang dari mereka berdiri, mendekati ibu itu sambil berkata, "maaf bu, disini tidak menerima sumbangan.."
Ibu itu membuka lipatan kain jariknya, mengeluarkan uang berwarna merah, biru, merah, biru, merah, biru.. berlembar-lembar banyaknya, sambil berkata
"Maaf nak, saya mau ikut bersedekah untuk pembangunan masjid ini.. Ini uangnya mohon diterima.." Seketika para takmir itu menunduk, tak ada yang berani memandang wajah ibu itu.. Salah tingkah dan menahan malu...
----------
Tulisan dari Ustad Salim A. Fillah ini juga menarik, menahan nafas membacanya..
Tertulis dalam bukunya "Barakallahu Laka, Bahagianya Merayakan Cinta"
"Suatu malam, Ustadz Muhammad Nazhif Masykur berkunjung ke rumah. Setelah membicarakan beberapa hal, beliau bercerita tentang tukang becak di sebuah kota di Jawa Timur"

Ustadz Salim melanjutkan, “Ini baru cerita, kata saya. Yang saya catat adalah, pernyataan misi hidup tukang becak itu, yakni:
(1) jangan pernah menyakiti
(2) hati-hati memberi makan istri."
“Antum pasti tanya,” kembali Salim melanjutkan ceritanya sembari menirukan kata-kata Ustadz Muhammad.
"Tukang becak macam apakah ini, sehingga punya mission statement segala?".
Saya juga takjub dan berulang kali berseru, “Subhanallah,” mendengar kisah hidup bapak berusia 55 tahun ini.

Tukang becak ini Hafidz Qira’at Sab’ah! Beliau menghafal Al-qur’an lengkap dengan tujuh lagu qira’at seperti saat ia diturunkan: qira’at Imam Hafsh, Imam Warasy, dan lainnya.
Dua kalimat itu sederhana. Tetapi bayangkanlah sulitnya mewujudkan hal itu bagi kita.
Jangan pernah menyakiti. Dalam tafsir beliau di antaranya adalah soal tarif becaknya.
Jangan sampai ada yang menawar, karena menawar menunjukkan ketidakrelaan dan ketersakitan.

Misalnya ada yang berkata, “Pak, terminal Rp 5.000 ya." Lalu dijawab,“Waduh, enggak bisa, Rp 7.000 Mbak." Itu namanya sudah menyakiti. Makanya, beliau tak pernah pasang tarif.
“Pak, terminal Rp 5.000 ya.” Jawabnya pasti OK. “Pak, terminal Rp 3.000 ya."
Jawabnya juga OK. Bahkan kalau,“Pak, terminal Rp 1.000 ya.” Jawabnya juga sama, OK.
Gusti Allah, manusia macam apa ini!

Kalimat kedua, hati-hati memberi makan istri. Artinya, sang istri hanya akan makan dari keringat dan becak tuanya. Rumahnya berdinding gedek. Istrinya berjualan gorengan. Stop! Jangan dikira beliau tidak bisa mengambil yang lebih dari itu. Harap tahu, putra beliau dua orang. Hafidz Al-qur’an semua.

Salah satunya sudah menjadi dosen terkenal di perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka di Jakarta. Adiknya, tak kalah sukses. Pejabat strategis di pemerintah. Uniknya, saat pulang, anak-anak sukses ini tak berani berpenampilan mewah. Mobil ditinggal beberapa blok dari rumah. Semua aksesoris, seperti arloji dan handphone dilucuti. Bahkan, baju parlente diganti kaus oblong dan celana sederhana.
Ini adab, tata krama.

Sudah berulang kali sang putra mencoba meminta bapak dan ibunya ikut ke Jakarta. Tetapi tidak pernah tersampaikan. Setiap kali akan bicara serasa tercekat di tenggorokan, lalu mereka hanya bisa menangis.

Menangis. Sang bapak selalu bercerita tentang kebahagiaannya, dan dia mempersilakan putra-putranya menikmati kebahagiaan mereka sendiri.
Ustadz Salim melanjutkan, “Waktu saya ceritakan ini pada istri di Gedung Bedah Sentral RSUP Dr. Sardjito keesokan harinya, kami menangis.
Ada banyak kekasih Allah yang tak kita kenal."
Ah, benar sekali: banyak kekasih Allah dan "manusia langit" yang tidak kita kenal.
Oleh:
Ustadz Salim A.Fillah
-------------
Kawanku.. Hari terus berganti, matahari datang pagi ini, dan menghilang sore nanti..
Usia kita terus bertambah, tanpa sadar banyak hal yang begitu saja kita lewatkan hanya untuk mengejar dunia yang sementara..

Padahal esok pada waktunya, kita semua saat pulang ternyata hanya dibungkus kain kafan tak bersaku.. Tak ada bekal uang yang berlaku.. Semua harta yang selama ini kita kejar habis-habisan, ternyata semu belaka.. Pangkat, jabatan, kemewahan yang selama ini dibanggakan akan berakhir ditimpun tanah kuburan..

Banyak orang yang mengejar label kaya dengan menggadaikan dunianya, harga diri sudah musnah entah kemana.. Sementara, banyak orang yang diam-diam ternyata kaya raya, dan lebih suka mencari muka hanya pada Tuhannya..
Benar kata kawan saya Mas Arief Budiman..
ORANG KAYA adalah orang yang selalu merasa cukup, sehingga dia terus berbagi..
ORANG MISKIN adalah orang yang selalu merasa kurang, hingga dia terus meminta-minta...

Salam,
@Saptuari — with Bayu Widodo and Ikhsanudin.