Riwayat Hidup dan PT. HM. Sampoerna
Sahabat kali ini saya akan membagikan
informasi tentang sepak terjang pendiri salah satu perusahaan rokok terbesar di
Indonesia PT. HM. Sampoerna yaitu Liem Seeng Tee. Pada awalnya saya kira
perusahaan tersebut dimiliki oleh seorang pengusaha yang berasal dari dalam
negeri atau penduduk asli Indonesia, namun berdasarkan informasi yang diperoleh
ternyata pemiliknya adalah asing. Liem Seeng Tee adalah seorang imigran dari
sebuah keluarga miskin di provinsi Fujian di Tiongkok. Dia
datang ke Indonesia pada tahun 1898 bersama kakak perempuan
dan ayahnya. Tak lama setelah tiba di Indonesia, ayahnya meninggal.
Sebelum meninggal, Liem Seeng Tee dititipkan
disebuah keluarga Tionghoa di Bojonegoro. Di keluarga Tionghoa tersebut Liem
Seeng Tee menerima pelajaran-pelajaran tentang keuangan. Hingga umur sebelas
(11) tahun Liem diasuh di keluarga tersebut. Setelah itu, Liem Seeng Tee hidup
mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berjualan makanan kecil di
dalam gerbong kereta jurusan Surabaya - Jakarta dengan cara
melompat masuk pada malam buta. Liem Seeng Tee pernah berjualan makanan kecil
selama 18 bulan penuh tanpa istirahat sekalipun. Di situ dia belajar meracik
tembakau yang kemudian dijualnya di stasiun kereta api.
Tidak lama setelah menikah dengan Siem
Tjiang Nio tahun 1912, Liem Seeng Tee mendapatkan pekerjaan sebagai
peracik dan pelinting rokok di sebuah pabrik rokok di Lamongan. Dari situ Liem
memperlihatkan kemampuan alaminya dalam meracik dan melinting rokok. Namun
tidak lama kemudian, Liem berhenti dari pekerjaannya itu dan menyewa sebuah
warung kecil di Jln. Tjantian di Surabaya Lama. Di warung tersebut
Liem bersama istrinya berjualan bahan makanan kecil, sedangkan Liem Seeng Tee
berusaha berjualan rokok racikannya sendiri. Usaha ini sempat maju ketika jalan
raya di depan rumah dilebarkan, sehingga jalanan menjadi ramai dan pelanggan
meningkat. Tetapi perkembangan pertama ini langsung dihantam oleh pukulan
pertama, gubug tempat tinggal keluarga muda ini terbakar.
Tak lama kemudian ternyata datang kesempatan
kedua, sebuah perusahaan tembakau bangkrut, dan Liem Seeng Tee ditawari untuk
membeli unit usaha itu dengan harga murah, tetapi harus dilunasi dalam waktu
kurang dari 24 jam. Liem Seeng Tee merasa beruntung sekali, karena kesempatan
yang tak mungkin muncul lagi itu berhasil diraihnya, karena diam-diam istrinya
menabung pada salah satu tiang bambu rumahnya. Di unit usaha inilah Liem Seeng
Tee berkesempatan memamerkan keahliannya sebagai peracik tembakau yang sangat
andal. Di sini suami istri yang kemudian dikaruniai dua putra dan tiga putri
ini melayani pesanan rokok dengan aneka citarasa, menggunakan mesin pelinting
sederhana.
Tampaknya pasangan ini tidak puas dengan
keadaan tersebut, dan bertekad untuk mengembangkan usaha itu menjadi lebih
besar lagi. Langkah pertamanya adalah membentuk badan hukum dengan nama Handel
Maatschappij Liem Seeng Tee (1913), yang di kemudian hari diubahnya
menjadi Handel Maatschappij Sampoerna (dan setelah Perang Dunia
II, berubah lagi menjadi PT Hanjaya Mandala Sampoerna / HM. Sampoerna).
Perusahaan ini memproduksi rokok dengan aneka macam merek dagang seperti Dji
Sam Soe, “123″, “720″, “678″, dan “Djangan Lawan”. Semua merek itu ditujukan
untuk beragam segmen pasar, tetapi andalannya adalah Dji Sam Soe yang membidik
segmen pasar premium, dengan logo dan kemasan yang dipertahankan hingga
sekarang.
Menjelang pendudukan Jepang, perusahaan
ini sudah memiliki 1300 orang karyawan yang bekerja dua sif, dengan produksi
lebih dari tiga juta batang rokok per minggu. Pabriknya semakin besar, dan
pasarnya semakin kukuh, khususnya untuk daerah Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Namun pada tahun 1942 Jepang mendarat di Surabaya, dan
dalam waktu kurang dari enam jam, Seeng Tee ditangkap dan dibawa ke Jawa
Barat untuk menjalani kerja paksa, sementara keluarganya lari dalam
persembunyian. Tak diketahui kemana larinya harta milik keluarga dan
perusahaan. Tetapi yang pasti, setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan,
harta Liem Seeng Tee yang masih tersisa tak lebih dari keluarganya sendiri dan
merek dagang “Dji Sam Soe”.
Liem Seeng Tee kembali memulai usahanya, dan
kembali mengusung merek “Dji Sam Soe” ke pasar. Perlahan tapi pasti usahanya
kembali berkembang, kapasitas produksinya semakin baik, dan pasar mulai kembali
berhasil dikuasainya. Tetapi hambatan kembali muncul, kali ini dari iklim
politik berupa suburnya perkembangan ideologi komunisme, yang berhasil
memutuskan hubungan kekeluargaan yang selama ini berhasil dirintisnya dengan
para karyawannya. Sedemikian dahsyat penyusupan komunisme di dalam pabriknya,
sehingga Liem Seeng Tee tak bisa mengunjungi pabriknya untuk menyapa para
karyawannya, hingga ajal menjemputnya. Liem Seeng Tee meninggal pada
tahun 1956.
HM Sampoerna sepeninggal Liem Seeng Tee
HM Sampoerna mengalami kesulitan besar
sepeninggal Liem Seeng Tee, ketika usaha itu dikelola oleh dua putri Liem Seeng
Tee (Sien dan Hwee) dan menantunya, yakni suami kedua putrinya tersebut.
Kesulitan besar itu muncul karena datangnya investor asing yang masuk ke
Indonesia membangun industri rokok putih dengan teknologi linting mesin.
Sementara itu dua putra Seeng Tee, Sie Hua dan Liem Swie Ling,
tidak tertarik meneruskan usaha HM Sampoerna. Sie Hua, si sulung, lebih
suka membuka usaha tembakau, sedangkan adiknya, Liem Swie Ling, membuka
pabrik rokok di Denpasar dengan merek Panamas, yang produksinya
ternyata ikut menggerogoti pasar HM Sampoerna di Jawa Timur.
Khawatir akan nasib HM Sampoerna, Sie Hua
akhirnya menyurati adiknya, dan memintanya untuk mengambil alih perusahaan itu,
karena dia merasa usahanya sendiri tidak bisa dilepaskannya begitu saja. Gayung
pun bersambut, Liem Swie Ling menyanggupi permintaan itu, bahkan
akhirnya juga memindahkan Panamas ke Malang, tak jauh dari HM Sampoerna.
Liem Swie Ling, yang kemudian selalu memperkenalkan diri sebagai Aga
Sampoerna, kemudian dengan kekuatan penuh mencoba menghidupkan kembali HM
Sampoerna sesuai dengan semangat besar ayahnya. Itulah yang merupakan awal
kebangkitan baru HM Sampoerna
Di tangan Aga Sampoerna perusahaan
itu semakin berkibar. Di awal tahun 70an, seiring dengan masuknya Putera
Sampoerna, putera Liem Swie Ling / Aga Sampoerna, ke jajaran manajemen,
perusahaan terus berkembang pesat. Jumlah karyawan sudah mencapai 1200 orang,
dengan produksi 1,3 juta batang rokok per hari. Tahun 1979 pabrik
milik HM Sampoerna sempat kembali terbakar habis, tetapi dalam waktu 24 hari
Dji Sam Soe sudah berhasil kembali mendatangi konsumennya. Aga Sampoerna
meninggal dunia pada tanggal 13 Oktober 1995, meninggalkan perusahaan
yang terus semakin maju pesat.
Ide untuk menjadi perusahaan publik adalah
ide Putera Sampoerna yang awalnya tidak secara bulat diterima oleh
keluarganya. Tetapi dengan penuh kesabaran Putera sampoerna berhasil meyakinkan
mereka, bahwa go public akan mengantar perusahaan itu ke tataran global, dan
nilai absolut saham milik keluarga pasti akan meningkat setelah itu, satu
keyakinan yang ternyata benar di kemudian hari. Kini perusahaan yang bermula
dari unit usaha rumahan itu sudah berada di tangan generasi keempat, di bawah
kepemimpinan Michael Joseph Sampoerna, dan telah menjadi salah satu
perusahaan publik papan atas. Maret 2005 merupakan masa penting dalam
perjalanan bisnis Putera Sampoerna dan keluarganya, di mana Putera memutuskan
untuk menjual seluruh saham keluarga Sampoerna di PT HM Sampoerna Tbk (40%)
ke Philip Morris International.
Itulah sekilas sepak terjang profil salah
satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia yaitu PT. HM. Sampoerna, Tbk. yang
dimiliki oleh penduduk asing (taipan). Mudah-mudahan kita sebagai penduduk
Indonesia asli (pribumi) bisa belajar dari kisah perjalanan mereka, sehingga
pada akhirnya kita bisa membangkitkan perekonomian bangsa kita sendiri oleh
tangan kita sendiri.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Liem_Seeng_Tee